Fenomena 'Kumenthus Ora Pecus' di Dunia Kerja
KABAR HARIAN


Fenomena 'Kumenthus Ora Pecus' di Dunia Kerja. Gambar Ilustrasi: Tim Redaksi
KabarBaik – Setiap organisasi memiliki individu yang tampak paling vokal dalam rapat, sering mengutip aturan, serta memberi kritik tajam terhadap kebijakan. Namun, ketika tiba saatnya bekerja, kontribusinya hampir tidak terlihat. Ada pula anggota yang sekadar menempel pada organisasi demi kepentingan pribadi, hadir dalam forum penting, tetapi tidak berperan dalam eksekusi program.
Fenomena ini dijelaskan oleh Adam Grant dalam Give and Take (2013), yang mengklasifikasikan individu dalam organisasi menjadi tiga tipe: giver (yang bekerja demi kepentingan bersama), taker (yang hanya mencari keuntungan pribadi), dan matcher (yang berusaha menyeimbangkan antara memberi dan mengambil). Grant menemukan bahwa banyak organisasi mengalami stagnasi akibat dominasi taker, individu yang mahir membangun citra tetapi minim kontribusi nyata.
Dr. Max Atkinson dalam Lend Me Your Ears: All You Need to Know About Making Speeches and Presentations (2004) menjelaskan bahwa keterampilan berbicara yang persuasif sering kali dikaitkan dengan efektivitas kepemimpinan. Namun, studi Pfeffer & Sutton dalam The Knowing-Doing Gap (2000) menunjukkan bahwa banyak organisasi lebih menghargai individu yang fasih berbicara daripada yang benar-benar menghasilkan perubahan.
“Di banyak organisasi, ada kecenderungan untuk menganggap berbicara sebagai tindakan. Semakin sering seseorang berbicara dalam rapat, semakin besar kesan bahwa ia telah bekerja, padahal tidak selalu demikian,” tulis Pfeffer & Sutton.
Hal ini diperkuat oleh studi yang dipublikasikan dalam Journal of Organizational Behavior (2021), yang menemukan bahwa individu dengan keterampilan komunikasi tinggi cenderung mendapatkan promosi lebih cepat, meskipun produktivitas mereka tidak selalu tinggi.
Penelitian dari Harvard Business Review (2022) mengungkap bahwa fenomena "banyak bicara, minim kerja" juga terjadi di banyak perusahaan global. Pemimpin yang fasih berbicara sering kali lebih dihargai dibanding mereka yang fokus pada hasil konkret.
Dalam politik, sejarawan Doris Kearns Goodwin dalam Leadership in Turbulent Times (2018) menggarisbawahi bahwa pemimpin besar seperti Abraham Lincoln dan Franklin D. Roosevelt tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga memiliki rekam jejak aksi yang solid. Sebaliknya, pemimpin yang lebih dikenal karena retorika populis sering kali gagal dalam implementasi kebijakan yang efektif.
Menurut Prof. Cal Newport dalam Deep Work (2016), organisasi dan individu yang ingin meningkatkan produktivitas harus mengurangi gangguan seperti rapat yang berlebihan dan komunikasi yang tidak menghasilkan tindakan nyata.
“Keberhasilan tidak ditentukan oleh seberapa sering seseorang berbicara dalam rapat, tetapi oleh seberapa banyak pekerjaan berkualitas yang ia selesaikan,” tulis Newport.
Sementara itu, studi dari Academy of Management Journal (2019) menekankan pentingnya "action-based leadership", di mana pemimpin dan anggota organisasi harus dievaluasi berdasarkan hasil nyata, bukan sekadar wacana.
Di era digital, kebiasaan "kumenthus ora pecus" semakin diperparah dengan media sosial, di mana individu lebih sibuk membangun citra ketimbang menghasilkan karya. Jika tren ini terus berlanjut, inovasi dan kemajuan organisasi akan terhambat.
Seperti yang dinyatakan dalam laporan World Economic Forum (2023), masa depan pekerjaan bergantung pada individu yang mampu “mengubah ide menjadi tindakan nyata.”