Kassian Cephas: Jejak Iman dan Lensa Fotografer Bumiputera Pertama
PROFIL


Kassian Cephas (Foto: Wikipedia.org)
KabarBaik – Nama Kassian Cephas (1845-1912) tercatat dalam sejarah sebagai fotografer bumiputera pertama di Indonesia. Namun, di balik kiprahnya sebagai fotografer istana Keraton Yogyakarta, perjalanan spiritualnya juga menjadi kisah yang menarik. Sebagai seorang Jawa yang beralih keyakinan ke agama Kristen Protestan, perjalanan hidup Cephas mencerminkan perjumpaan antara iman, identitas, dan modernitas.
Kassian Cephas lahir pada 15 Januari 1845 di Yogyakarta dari keluarga Jawa. Nama "Kassian" sendiri berasal dari bahasa Melayu yang berarti belas kasihan atau anugerah. Namun, titik balik spiritualnya terjadi pada 27 Desember 1860, ketika ia dibaptis dalam agama Kristen di Purworejo, Bagelen. Sejak saat itu, ia mengadopsi nama "Cephas," sebuah kata dari bahasa Aramaic, bahasa yang digunakan oleh Yesus Kristusyang berarti "batu karang yang tak tergoyahkan".
Pergantian namanya mencerminkan transformasi batin dan keyakinannya. Sebagaimana Simon yang diberi nama baru oleh Yesus menjadi Petrus (Cephas) dalam Alkitab (Yohanes 1:42), Kassian juga menjalani kehidupan baru sebagai seorang Kristen. Keputusan ini membawa konsekuensi sosial dan budaya di tengah komunitas Jawa yang masih kuat berpegang pada tradisi leluhur.
Sebagai seorang Jawa yang menganut agama Kristen, Cephas menempati posisi unik di masyarakatnya. Ia adalah satu dari sedikit orang bumiputera yang diberlakukan hukum Eropa oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini memberinya kesempatan lebih luas dalam dunia fotografi, tetapi juga menjadikannya seorang mediator antara tradisi Jawa dan modernitas Barat.
Keimanannya juga memengaruhi cara ia mendokumentasikan dunia di sekitarnya. Sebagai fotografer Keraton Yogyakarta, ia tidak hanya merekam upacara adat dan tarian sakral, tetapi juga menunjukkan bagaimana keindahan ciptaan Tuhan tercermin dalam lanskap, arsitektur candi, hingga ekspresi manusia dalam potret.
Dalam karya-karyanya, Cephas lebih dikenal sebagai seorang fotografer dokumenter. Ia menangkap potret keluarga kerajaan, upacara adat, tarian, dan situs sejarah dengan ketelitian tinggi. Namun, ada momen-momen di mana ia juga menampilkan subjektivitasnya sebagai seorang individu, terutama dalam beberapa foto yang menunjukkan dirinya di antara lanskap atau candi.
Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam Jurnal Dharmasmrti, (2016), Cephas biasanya menyembunyikan dirinya di balik kamera, tetapi dalam foto-foto tertentu, ia seolah ingin menegaskan eksistensinya. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai pergeseran dari kolektivitas menuju subjektivitas, sebuah perjalanan yang juga mencerminkan keyakinannya dalam menemukan identitas spiritual yang baru.
Warisan Kassian Cephas tidak hanya tercermin dalam dunia fotografi, tetapi juga dalam keberanian memilih jalan iman di tengah arus budaya yang berbeda. Sebagai seorang Kristen Jawa, ia menapaki jalannya sendiri, menjadi saksi perubahan zaman dengan lensa dan imannya.
Hari ini, karya-karyanya masih dikenang sebagai bagian dari sejarah fotografi Indonesia. Ia membuktikan bahwa seni tidak hanya menjadi alat dokumentasi, tetapi juga sarana ekspresi iman, identitas, dan pencarian makna dalam kehidupan.