Kekristenan dalam Bingkai Budaya Jawa: Jejak Kyai Ibrahim Tunggul Wulung
SOLUSI


Ilustrasi: Istimewa
KabarBaik-Bagaimana kekristenan dapat tumbuh subur di tanah Jawa tanpa menghapus identitas kejawaan? Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (1800-1885) menjawab pertanyaan itu melalui pendekatan unik yang memadukan Injil dengan tradisi dan nilai-nilai lokal. Sebagai seorang penginjil yang lahir dari budaya Jawa, Tunggul Wulung tidak hanya membawa pesan spiritual tetapi juga menghadirkannya dalam kerangka kejawaan, sehingga mampu menyentuh hati masyarakat setempat.
Dari beberapa sumber catatan yang dihimpun redaksi, sebelum menjadi seorang Kristen, Tunggul Wulung menghabiskan waktunya bertapa di Gunung Kelud, Jawa Timur. Ia mendalami berbagai "ngelmu" seperti jayakawijayan, kanuragan, ngelmu gaib, serta pencarian jati diri Ratu Adil. Namun, semua itu tak membawa kepuasan spiritual. Hingga suatu hari, di tengah pertapaannya, ia menemukan secarik kertas bertuliskan Sepuluh Hukum Tuhan. Kertas ini mengantarkannya kepada Pdt. J.E. Jallesma, seorang misionaris di Mojowarno, Jawa Timur. Dari Jallesma, Tunggul Wulung mendapatkan penjelasan mengenai arti dari hukum-hukum tersebut, yang menjadi titik awal perjumpaannya dengan kekristenan.
Tak lama kemudian, ia bertemu dengan seorang petapa wanita bernama Endang Sampurnawati yang juga mengenal ajaran Kristen. Pertemuan ini memperkaya perenungan spiritualnya. Keduanya berbagi teka-teki simbolik yang berpusat pada pengharapan akan sosok Ratu Adil. Jawaban atas teka-teki itu membawa mereka pada pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Ratu Adil sejati.
Pada Mei 1855, Tunggul Wulung dibaptis oleh Pdt. J.E. Jallesma dan diberi nama baptis Ibrahim. Setelah itu, ia mulai aktif memberitakan Injil ke berbagai daerah di Jawa, termasuk Jepara, Juwana, Ngawi, Salatiga, Semarang, Purworejo, hingga Batavia (Jakarta). Di kawasan sekitar Gunung Muria, ia mendirikan jemaat di Banyutowo dan Bondo. Namun, aktivitasnya selalu diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam salah satu catatan, di Jepara ia pernah menggunakan nama samaran Amat Dullah untuk menghindari kecurigaan residen setempat.
Sebagai seorang penginjil Jawa, Tunggul Wulung mengembangkan kekristenan yang selaras dengan tradisi dan budaya Jawa. Ia menghayati Injil melalui perspektif kejawaan, mengintegrasikan ajaran Kristen dengan nilai-nilai lokal. Salah satu pendekatan utamanya adalah mengontekstualisasi kekristenan dalam kerangka "ngelmu" Jawa dan pengharapan mesianik akan Ratu Adil. Dengan cara ini, ajaran yang dibawanya menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Meski begitu, ajarannya kerap dituduh mengandung unsur sinkretisme, yakni penggabungan antara kekristenan dengan tradisi Jawa. Namun, terlepas dari kritik tersebut, pengaruh Tunggul Wulung dalam menyebarkan Injil di Tanah Jawa tak dapat disangkal. Ia berhasil meletakkan dasar bagi perkembangan Gereja Injili di Tanah Jawa, khususnya di wilayah Muria.
Dalam catatan sejarah, perjalanan hidup Tunggul Wulung tidak hanya berkisar pada perannya sebagai penginjil, tetapi juga bagaimana ia menavigasi masa-masa sulit. Ia lahir di Kawedanan Juwana, dekat Jepara, dan pernah merasakan dampak langsung dari sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1840-an. Kesulitan ekonomi memaksanya merantau ke Kediri, di mana ia akhirnya bertapa di Gunung Kelud. Dari seorang petapa yang mencari makna hidup, ia bertransformasi menjadi seorang penginjil yang mengabdikan diri bagi komunitas Kristen Jawa.
Catatan lain menyebutkan bahwa nama Tunggul Wulung memiliki makna historis yang erat dengan mitos lokal. Dalam Serat Babad Kadhiri, ia disebut sebagai sosok yang melayani Raja Jayabaya dari Kerajaan Kediri sebelum akhirnya menjadi penjaga spiritual Gunung Kelud. Legenda ini semakin memperkuat karismanya di mata masyarakat Jawa.
Hingga kini, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dikenang sebagai figur penting dalam sejarah kekristenan Jawa. Pengabdiannya sebagai penginjil, pendekatannya yang mengintegrasikan kejawaan dengan ajaran Kristen, serta keberaniannya dalam menghadapi tantangan zaman, menjadikannya sosok yang dihormati. Kisahnya bukan hanya tentang perjalanan spiritual, tetapi juga tentang bagaimana identitas budaya dapat berdampingan dengan iman.
Sebagai cikal bakal berdirinya Gereja Injili di Tanah Jawa, warisan Tunggul Wulung tetap hidup dalam komunitas-komunitas Kristen di sekitar Gunung Muria dan sekitarnya. Dalam setiap langkahnya, ia mengajarkan bahwa iman tidak hanya soal percaya, tetapi juga soal bagaimana iman itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.