Kisah Misionaris yang Membawa Api Pentakosta ke Indonesia

PROFIL

NICK

1/3/20252 min baca

Hingga kini, semangatnya terus hidup melalui gereja-gereja yang didirikannya dan generasi baru yang terinspirasi oleh pelayanannya.

KabarBaik- Dalam dunia kekristenan Indonesia, nama Johannes Gerhard Thiessen, atau yang lebih dikenal sebagai "Papa Thiessen," merupakan sosok yang tak tergantikan. Lahir pada 22 November 1869 di Kitkchas, Ukraina, Thiessen tumbuh dalam lingkungan keluarga Jemaat Mennonite yang taat. Dari sinilah panggilan hidupnya sebagai misionaris mulai tumbuh. Dengan semangat untuk menjawab panggilan Tuhan, ia menempuh studi teologi di Seminari St. Chrischona, Swiss, dan memperdalam persiapannya sebagai utusan Injil dengan mempelajari bahasa Batak serta ilmu kesehatan.

Pada tahun 1901, Thiessen bersama istrinya, Anna Maria Vink, memulai perjalanan panjangnya ke Sumatera, diutus oleh Doopgezinde Zendings Vereeniging (DZV). Mereka melayani di desa Pekantan, Mandailing Selatan, selama 15 tahun. Kehidupan di tengah hutan yang penuh tantangan justru menjadi ladang subur bagi pelayanan mereka. Thiessen tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga mengajarkan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat setempat. Ketekunan dan cinta kasih mereka berbuah, baik secara rohani maupun sosial.

Setelah kembali ke Eropa pada tahun 1916 akibat Revolusi Bolshevik di Ukraina, Thiessen tidak menyerah pada keadaan. Sebaliknya, ia menerima visi baru dari Tuhan: membawa api Pentakosta ke Indonesia. Dengan dukungan sahabat-sahabatnya di Jerman dan Belanda, Thiessen kembali ke Indonesia pada tahun 1921, kali ini membawa semangat kebangunan rohani Pentakosta.

Tonggak penting dalam pelayanannya tercatat pada 29 Maret 1923, saat Thiessen memimpin kebaktian di Cepu, Jawa Tengah. Dalam momen itu, banyak jemaat yang dibaptis Roh Kudus, berbicara dalam bahasa lidah, dan menerima kesembuhan ilahi. Peristiwa ini menjadi awal Gerakan Pentakosta di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Pinksterbeweging.

Sebagai seorang visioner, Thiessen tidak hanya menggembalakan jemaat tetapi juga mendirikan gereja-gereja di berbagai kota, termasuk Bandung yang menjadi pusat pelayanannya. Ia dikenal sebagai sosok rendah hati, penuh kasih, dan teguh memegang kebenaran Firman Tuhan. Pelayanannya tidak lepas dari tantangan, termasuk fitnah dan pembatasan dari pemerintah kolonial, namun Thiessen tetap maju dengan keyakinan bahwa kuasa Roh Kudus akan memimpin gerejanya.

Papa Thiessen meninggalkan warisan yang abadi bagi kekristenan di Indonesia. Ia wafat pada 1 Maret 1953 dan dimakamkan di TPU Pandu, Bandung. Hingga kini, semangatnya terus hidup melalui gereja-gereja yang didirikannya dan generasi baru yang terinspirasi oleh pelayanannya.

Related Stories