Polemik Internal GPdI: Dugaan Pelanggaran atau Upaya Pembunuhan Karakter?
KABAR HARIAN


Jhonly Sepang (kanan) menjadi inisiator Garda GPDI sebagai upaya menjaga citra lembaga keumatan itu di ruang publik, Selasa (25/02), Jakarta Utara. Foto: Albert
KabarBaik – Sebuah unggahan di media sosial baru-baru ini mengguncang internal sebuah lembaga keumatan besar di Indonesia. Dalam unggahan yang dimuat lewat akun sosial media tersebut, seorang pemimpin lembaga keagamaan dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai etika dan moral Kristen. Namun, polemik ini semakin rumit setelah muncul indikasi bahwa tuduhan itu bisa jadi merupakan bagian dari skenario sistematis untuk merusak citra tokoh yang bersangkutan.
Dugaan ini berawal dari unggahan akun facebook berinisial DK yang menyebarkan dokumen berisi "kronologi" yang mengaitkan seorang tokoh keagamaan nasional dengan kasus pribadi seorang perempuan. Kronologi tersebut mencantumkan detail yang dianggap banyak kalangan seharusnya bersifat pribadi, bahkan unggahan itu menyebut dugaan keterlibatan beberapa individu atau lembaga lain.
Kejanggalan dalam kronologi yang diunggah itu mulai diperbincangkan, khususnya di internal umat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI). Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana informasi yang begitu sensitif dan pribadi dapat tersebar begitu luas di media sosial. Sejumlah pihak menilai bahwa dokumen yang beredar tersebut tidak memenuhi standar bukti yang sah dan lebih condong ke arah narasi subjektif.
Dalam dokumen yang diunggah di sosial media dengan akun DK itu, disebutkan bahwa individu yang diduga terlibat mengaku langsung kepada pihak lain mengenai hal-hal yang sangat pribadi dan sensitif. Namun, skema penyampaian informasi ini dinilai janggal oleh sejumlah orang. "Itu kan sensitif (aib), peristiwa pribadi, mengapa ia justru menceritakannya ke orang lain yang kemudian diceritakan lewat surat kronologis dan diteruskan lagi ke orang lain lagi dan akhirnya meneruskannya secara terbuka lewat sosial media? Itu seperti ada kepentingan tertentu. Apalagi si perempuan kemudian menempuh jalur hukum dengan melaporkan dugaan pencemaran nama baik. Jika peristiwa itu benar biarkan saja pihak yang berwenang memprosesnya. Kan ada yang Namanya praduga tidak bersalah. Kita sebagai masyarakat harus berpegang sama itu saja jangan jadi hakim moral." ujar seorang umat yang menolak disebutkan namanya saat ditemui redaksi, Selasa (25/02) di sebuah Warung Kopi di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Tak hanya itu, lokasi yang disebut sebagai tempat kejadian pun menuai tanda tanya. Penyebutan hotel sebagai tempat kejadian tanpa bukti konkret semakin memperkuat asumsi bahwa tuduhan ini bisa saja hanya berdasarkan cerita dari pihak ketiga, tanpa verifikasi yang jelas.
Di sisi lain, beberapa pihak juga mempertanyakan motif di balik penyebaran informasi ini. "Mengapa baru sekarang muncul? Jika ini benar-benar sebuah kasus yang serius, seharusnya sejak awal sudah dilaporkan ke otoritas terkait, bukan ke media sosial," kata seorang narasumber lain yang mengikuti perkembangan isu ini.
Menanggapi polemik ini, sejumlah orang yang terdiri dari umat dan Hamba Tuhan menyatakan bahwa unggahan tersebut merupakan serangan terhadap karakter yang tidak berdasarkan fakta. Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Garda GPdI di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (25/02), Jonly Sepang menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
"Apa yang disampaikan akun Facebook itu hanya berdasarkan informasi dari pihak lain yang motif dan kepentingannya patut dipertanyakan. Ini tidak selaras dengan ajaran Kristiani yang mengedepankan kasih dan kebenaran," ujar Jonly.
Lebih lanjut, Garda GPdI menekankan bahwa kritik terhadap lembaga keumatan harus disampaikan melalui mekanisme yang tepat, bukan dengan cara yang justru memperkeruh suasana dan memicu perpecahan di internal umat. Mereka berpendapat bahwa jika unggahan akun Facebook berinisial DK itu dilakukan dengan tujuan membela kepentingan orang banyak dengan didukung oleh data yang valid dan terkonfirmasi, maka bisa dikatakan sebagai bentuk perjuangan. Namun, jika unggahan tersebut hanya didasarkan pada informasi tidak langsung, motif subjektif, atau bahkan menimbulkan perpecahan tanpa solusi yang jelas, maka lebih tepat disebut sebagai opini yang bersifat provokatif daripada sebuah perjuangan yang bermakna dan dapat terjadi confirmation bias atau false memory. Namun, jika ada niat untuk memutarbalikkan fakta, maka hal itu bisa sebagai disinformasi atau gaslighting. Garda GPdI juga meminta pihak kepolisian untuk mengambil tindakan tegas terhadap penyebaran informasi yang dianggap menciptakan polarisasi dan keresahan di tengah jemaat.
Penyebaran kabar bohong (hoaks) dan provokasi di media sosial dapat berdampak hukum serius bagi pelakunya. Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE, penyebar hoaks yang merugikan masyarakat dapat dikenai pidana hingga enam tahun penjara atau denda maksimal Rp1 miliar. Selain itu, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 juga mengatur sanksi bagi pelaku yang menyebabkan keresahan publik dengan ancaman pidana hingga 10 tahun. Sementara itu, individu yang menghasut atau memprovokasi kegaduhan dapat dijerat Pasal 160 dan 156 KUHP, terutama jika mengandung unsur kebencian berbasis SARA. Tidak hanya pembuat konten, penyebar ulang informasi menyesatkan juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dalam membagikan informasi dan selalu melakukan verifikasi agar tidak terjerat konsekuensi hukum. Namun, jika ada bukti konkret atas tuduhan yang disampaikan, maka jalur hukum menjadi opsi terbaik untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Polemik ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh lembaga keagamaan dalam menjaga kredibilitasnya di era digital. Ketika tuduhan serius muncul di ruang publik, penting bagi masyarakat untuk tidak langsung terprovokasi sebelum ada investigasi yang jelas dan transparan.
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa media sosial bukanlah pengadilan, dan setiap tuduhan harus diuji berdasarkan bukti yang sah agar tidak menjadi alat untuk menjatuhkan seseorang tanpa dasar yang kuat.